Banda Aceh kembali menghadapi defisit anggaran yang cukup besar, mencapai Rp39,8 miliar. Kepala Badan Pengelolaan Keuangan Kota (BPKK) Banda Aceh, Alriandi Adiwinata, menyebut bahwa angka tersebut berasal dari Surat Perintah Membayar (SPM) yang tidak dapat direalisasikan hingga 31 Desember 2024.
"Utang ini mencakup kewajiban kepada pihak ketiga dan Alokasi Dana Gampong (ADG). Namun, jumlah pastinya masih dalam tahap reviu oleh Inspektorat Banda Aceh," kata Alriandi, Selasa (11/2/2025).
Menurutnya, ada tiga faktor utama yang menyebabkan defisit anggaran ini. Pertama, Pendapatan Asli Daerah (PAD) tidak mencapai target, dengan kekurangan 10 persen atau sekitar Rp16 miliar. Kedua, pendapatan transfer dari pemerintah pusat juga lebih rendah dari yang diharapkan, yakni minus 2,64 persen atau setara Rp27 miliar.
Ketiga, terjadi kekurangan Dana Alokasi Umum (DAU) untuk Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Dari kebutuhan Rp69 miliar, Pemko Banda Aceh hanya menerima Rp49 miliar, sehingga selisih Rp20 miliar menjadi beban tambahan bagi APBD.
Selain harus menutup defisit anggaran 2024, Pemko Banda Aceh juga menghadapi tantangan keuangan yang lebih besar di tahun 2025. Kekurangan alokasi belanja gaji dan tunjangan PNS serta PPPK diperkirakan mencapai Rp86 miliar.
"Khusus untuk PPPK formasi 2019-2023, kebutuhan gaji satu bulan saja mencapai Rp25 miliar. Sementara untuk PPPK formasi 2024, dibutuhkan tambahan Rp61 miliar," ungkapnya.
Tak hanya itu, RSUD Meuraxa juga mencatat utang sebesar Rp49 miliar, yang terdiri dari insentif jasa layanan Rp19 miliar, belanja obat dan bahan medis Rp22 miliar, serta belanja operasional Rp8 miliar.
Menanggapi kondisi ini, Pj Sekdako Banda Aceh, Bachtiar, menegaskan bahwa pihaknya berkomitmen untuk menyelesaikan pembayaran utang tersebut dengan langkah-langkah konkret agar tidak semakin membebani keuangan daerah.